Sakti Peksos (PKSA)


Sumber : Buku Pedoman PKSA Tahun 2014

Selaras dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang Berkeadilan, maka di­tetap­kanPKSA sebagai program prio­ritas nasional yang meliputi Program Kesejahteraan Sosial Anak Balita (PKS-AB), Program Kesejahteraan Sosial Anak Telantar (PKS-AT), Program Kese­jah­teraan Sosial Anak Jalanan (PKS-AJ), Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan Remaja Rentan (PKS-ABH dan Remaja), Program Kesejahteraan Sosial Anak Dengan Kecacatan (PKS-ADK) dan Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Membutuhkan Perlin­dungan Khusus (PKS-AMPK).

Sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden, makaditetapkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 15A/HUK/2010 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).

Dalam 5 (lima) tahun ke depan, kerangka kebijakan nasional meng­alami perubahan yang fundamental. Kebijakan nasional tentang pemenuhan hak anak telah dirumuskan dalam RPJMN 2015-2019. Kementerian Sosial telah menindaklanjuti rumusan Rencana Strategis Pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak 2015-2019 dan menjadi acuan utama dalam pengem­bangan pola operasional Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA).

SITUASI ANAK

Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara maksimal sesuai potensinya. Secara ber­lapis, di­mulai dari lingkar keluarga dan kerabat, masya­rakat sekitar, pemerintah  lokal sampai pusat, hingga masya­rakat internasional berkewajiban untuk menghormati,  melindungi dan meng­upaya­kan pemenuhan atas hak anak. Hanya jika setiap lapisan pemangku tugas tersebut dapat berfungsi dengan baik serta mampu menjalankan ke­wajib­an dan tanggungjawabnya, maka anak akan dapat memiliki kehidupan yang berkualitas dan memungkinkannya untuk tumbuh serta berkembang secara optimal sesuai potensinya.

Meskipun banyak upaya telah dilakukan, masih banyak anak Indonesia harus hidup dalam beragam situasi sulit yang membuat kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidupnya terancam. Berdasarkan data BadanPusat Statistik (2006), jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun men­capai 79.898.000 jiwa dan mengalami peningkatan menjadi 85.146.600  jiwa pada tahun 2009. Berdasarkan data BPS tahun 2009, tercatat sebanyak 7,4 juta anak berasal dari Rumah Tangga Sangat Miskin, termasuk diantaranya 1.217.800 anak balita telantar (BPS,2012) , 7,5 juta anak telantar (Pusdatin Kesos, 2012), 31.478 anak jalanan (Pusdatin Kesos, 2013), 4.300 anak yang berhadapan dengan hukum (Ditjen PAS,2013) dan 7.000 anak yang sampai saat ini hak-hak dasarnya masih belum terpenuhi.

RESPON SISTEMIK

Masyarakat dan pemerintah dari berbagai tingkatan telah me­lakukan berbagai layanan dan program yang terus dikem­bangkan dengan intensitas dan kualitas yang diupayakan terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun faktanya masih sangat banyak anak belum ter­sentuh pelayanan kesejah­teraan sosial karena keterbatasan sumber daya. Keter­batasan cakupan pelayanan ini juga  disertai dengan belum adanya keterpaduan perencanaan dan pengelolaan sumber­daya dan layanan di antara lembaga pelayanan sosial yang ada. Keterbatasan tersebut juga diperparah dengan penggunaan pendekatan dan strategi yang konven­sio­nal, sehingga menga­kibatkan meningkatnya masalah sosial anak yang tidak dapat diimbangi dengan upaya pencegahan dan respon yang memadai. Strategi konven­sional dimaksud seperti kurangnya memperhatikan kebutuhan dasar anak yang beragam, sehingga bantuan sosial cen­derung diseragamkan.

Sejak 2009 rancangan kebijakan, strategi dan program terobosan yang telah lama digagas mulai diaktualisasikan sehingga gap yang ada mampu diperkecil. Misalnya sumber pendanaan tidak semata bertumpu pada APBN tetapi meng­galang juga kerjasama luar negeri, APBD dan dukungan organisasi non-pemerintah dalam negeri maupun inter­nasional, termasuk sumber pendanaan Corporate Social Responsibilty.  Selain itu dilakukan perubahan paradigma dalam berbagai dimensi program meliputi : perspektif analisis masalah dan kebutuhan, sistem penetapan target sasaran, pola operasional layanan, keberlanjutan layanan dan sistem manajemen pelaksanaan layanan. Pada tahun 2009, Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) mulai dikembangkan dan diujicobakan untuk penangan­an anak jalanan di lima wilayah yaitu : Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta.

Belajar dari pengalaman implementasi awal tersebut, mulai tahun 2010, layanan PKSA telah diperluas jangkauan target sasaran maupun wilayahnya, meliputi : anak balita telantar; anak jalanan dan anak telantar; anak yang berhadapan dengan hukum; anak dengan kecacatan; serta anak yang mem­butuhkan perlindungan khusus lainnya seperti anak yang berada dalam situasi darurat, anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang, korban kekerasan dan eksploitasi seksual, eksploitasi ekonomi, korban penyalahgunaan narkoba/ zat adiktif, penderita HIV/AIDS, dan anak dari kelompok minoritas atau komunitas adat terpencil.

PKSA dikembangkan dengan perspektif jangka panjang sekaligus untuk menegaskan komitmen Kementerian Sosial untuk merespon tantangan dan upaya mewujudkan kesejah­teraan sosial anak yang berbasis hak. Juga per­wujudan dari kesungguhan Kementerian Sosial mendorong perubahan paradigma dalam  pengasuhan, peningkatan kesadaran masyarakat, penguatan tanggung jawab orang tua/keluarga dan perlindungan anak yang bertumpu pada keluarga dan masyarakat, serta mekanisme pemenuhan kebutuhan dasar anak yang dapat merespon keberagaman kebutuhan  melalui tabungan.  Oleh karena itu, PKSA merupakan respon sistemik dalam perlindungan anak, termasuk memberikan penekanan pada upaya pencegahan.

Untuk kepentingan kejelasan operasionalisasi pencapaian tujuan program tersebut, maka Pedoman PKSA ini disusun untuk memberikan panduan yang jelas, lengkap dan konsisten bagi para pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya.

DASAR HUKUM

Perancangan, perencanaan dan pelaksanaan Program Kesejah­teraan Sosial Anak didasarkan pada:

  1. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1979  tentang Kesejah­tera­an Anak.
  2. Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlin­dungan Anak.
  4. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahtera­an Sosial.
  5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas.
  6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  7. Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Anak yang Mempunyai Masalah.
  8. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.
  9. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 tentang Percepatan Pelak­sa­na­an Prioritas Pembangunan Nasional.
  10. Intruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program Pem­bangunan yang Berkeadilan.
  11. Keputusan Menteri Sosial Nomor 135/HUK Tahun 2009 tentang Standar Nasional Pengasuhan dan Perlindungan Anak di Bawah Lima Tahun.
  12. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 15A/HUK/2010 tentang Panduan Umum Program Kesejahteraan Sosial Anak.
  13. Peraturan Menteri Sosial Nomor 57 Tahun 2010 tentang Pen­dirian Taman Anak Sejahtera.
  14. Peraturan Menteri Sosial Nomor 30 Tahun 2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak di LKSA.
  15. Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial.
  16. Peraturan Menteri Sosial Nomor 17 Tahun 2012 tentang Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial.
  17. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudaya­an, Menteri Agama, Menteri Sosial dan Menteri Dalam Neg­eri, Nomor 0318/P/1984, Nomor 64 Tahun 84, Nomor 43/HUK/ KEP/­VII/­1984, Nomor 45 Tahun 1984 tentang Bantuan terhadap Anak Kurang Mampu, Anak dengan Kecacatan dan Anak Bertempat Tinggal di Daerah Terpencil dalam Rangka Pelaksanaan Wajib Belajar.
  18. Kesepakatan Bersama  antara Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depar­temen Sosial RI dengan Direktur Jenderal PAS Departemen Hukum dan HAM RI  Nomor 20/PRS-2/KEP/2005 dan Nomor E.U.M 06.07-83 Tahun 2005, tentang Pelayanan dan Rehabi­litasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan.
  19. Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Pendidikan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Agama RI dan Kepolisian Negara RI Nomor 12/PRS-2/KPTS/2009; Nomor M.HH.04.MH.03.02.Th.2009; Nomor11/ XII/KB/­2009; Nomor1220/Menkes/SKB/XII/2009; Nomor06/ XII/2009; NomorB/43/XII/2009, tentang Perlin­dungan dan Reha­bi­li­tasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
  20. Keputusan Bersama Mahkamah Agung RI, Kejaksanaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Sosial dan Kementerian Pember­daya­an Perempuan Tanggal 22 Desember Tahun 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
  21. Peraturan Menteri Sosial RI, No : 21 tahun 2012 tentang Pengasuhan Anak.

 

PENGERTIAN

Berikut ini beberapa pengertian yang menjadi bagian dari konsep pokok yang digunakan dalam Pedoman Program Kese­jah­teraan Sosial Anak.

  1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
  2. Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksa­­na­kan fungsi sosialnya.
  3. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlin­dungan dari kekerasan dan diskriminasi.
  4. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah upaya yang terarah, terpadu dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar anak, yang  meliputi  bantuan  pemenuhan kebutuhan dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, peningkatan  potensi diri dan kreati­vi­tas anak, penguatan orang tua/keluarga dan penguatan lem­baga kesejahteraan sosial anak.
  5. Unit PelaksanaProgram Kesejahteraan Sosial Anak (UP-PKSA) adalah unit yang dibentuk dan ditunjuk di tingkat pusat (Kementerian Sosial); Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang bertang­gung­­­jawab atas penyelenggaraan PKSA di masing-masing tingkat kewilayahan.
  6. Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) adalah organi­­sasi sosial atau perkumpulan sosial yang melaksa­nakan Prog­ram Kesejahteraan Sosial Anak, yang dibentuk oleh masya­rakat atau difasilitasi pemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  7. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang memiliki kompetensi dan  kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksa­na­kan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
  8. Pekerja Sosial Profesional Anak adalahpekerja sosialyang bekerja menjadi pendamping di instansi, lembaga/yayasan yang menangani permasalahan anak dan memiliki keahlian dalam bidang kesejahteraan dan perlindungan anak.
  9. Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial anak dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial anak.
  10. Relawan Sosial Anak adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial mau­­pun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial, tetapi melaksa­nakan kegiatan penyelenggaraan di bidang kesejah­teraan sosial anak bukan di instansi pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan.
  11. Pendamping PKSA adalah Pekerja Sosial Profesional, Tena­ga Kesejahteraan Sosial Anak, atau Relawan Sosial yang dipan­dang memenuhi syarat kompetensi untuk melakukan pendam­­pingan,yang direkrut oleh dan bekerja untuk LKSA, yang fungsinya adalah melaksanakan tugas-tugas pelayanan kese­jah­teraan sosial dan perlindungan khusus kepada anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat PKSA, serta kepada lingkungan komunitas/masyarakat.
  12. Aksesibilitas Pelayanan Sosial Dasar adalah kemampuan menjangkau pelayanan sosial dasar untuk anak penerima manfaat PKSA berupa pelayanan kesehatan dasar, pendi­dikan, identitas diri, peningkatan keterampilan, sarana tempat tinggal, air bersih, rekreasi dan kebutuhan dasar lainnya.
  13. Bantuan Tunai Bersyarat (Conditional Cash Transfer) ada­lah mekanisme utama penyaluran bantuan sosial berupa bantuan tunai kepada anak yang menjadi penerima manfaat PKSA dalam bentuk Tabungan Kesejahteraan Sosial Anak. Dalam mekanisme ini, bantuan keuangan, hanya akan diberi­kan bila anak dan keluarga yang menjadi penerima manfaat sanggup memenuhi beberapa syarat dan kewajiban (conditionality) tertentu.  Syarat dan kewajiban tersebut terkait dengan kesung­guhan memenuhi kebutuhan dasar anak, kesungguhan meng­akses pelayanan sosial dasar, mening­katkan potensi diri dan kreativitas anak, kesediaan orang tua/ keluarga dalam bertang­gung jawab untuk memenuhi hak dasar anak dan penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak dalam upaya mensejahterakan dan melindungi anak.
  14. Rehabilitasi Sosial adalah proses kegiatan yang meliputi sosialisasi, pencegahan, pembinaan, perlindungan dan advokasi sosial.
  15. FDS (Family Development Session) merupakan kegiatan dalam rangka mengembangkan anak dan keluarga melalui pertemuan rutin di lembaga
  16. Validasi Data adalah proses pengisian data yang benar dan berguna bagi pelaksanaan PKSA.
  17. Verifikasi Data adalah proses pemeriksaan untuk memastikan kebenaran data.

 

KRITERIA PENERIMA MANFAAT

Sasaran PKSA diprioritaskan kepada anak yang memiliki kehidup­an yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial seperti kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterpencilan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, korban bencana, korban tindak  kekerasan, korban eksploitasi dan diskri­minasi.

Sasaran penerima manfaat dibagi dalam 6 (enam) kelompok, yaitu :

Anak balita telantar (usia 0 sampai dengan dibawah 5 tahun), meliputi :

  • Anak yang berasal dari keluarga sangat miskin/miskin.
  • Anak yang kehilangan hak asuh dari orangtua/ keluarga.
  • Anak yang mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang tua/ keluarga.
  • Anak yang di eksploitasi secara ekonomi seperti anak balita yang disalah-gunakan orang tua menjadi pengemis di jalanan.
  • Anak yang menderita gizi buruk atau kurang

Anak telantar  (usia 5 sampai dengan 18 tahun), meliputi :

  • Anak yang mengalami perlakuan salah dan ditelantarkan oleh orang tua/ keluarga.
  • Anak kehilangan hak asuh dari orang tua/ keluarga.

Anak terpaksa bekerja di jalanan (6 sampai dengan 18 tahun), meliputi:

  • Anak yang bekerja dan hidup di jalanan.
  • Anak yang bekerja di jalanan.
  • Anak yang rentan bekerja di jalanan.

Anak berhadapan dengan hukum(6 sampai dengan 18 tahun), meliputi :

  • Anak diindikasikan melakukan pelanggaran hukum.
  • Anak yang mengikuti proses peradilan.
  • Anak yang menjadi korban perbuatan pelanggaran hukum.
  • Anak yang menjadi saksi tindak pidana.
  • Anak yang berstatus diversi.
  • Anak yang telah menjalani masa hukuman pidana.

Anak dengan disabilitas (0 sampai dengan 18 tahun), meliputi :

  • Mampu latih dan mampu didik
  • Disabilitas ringan dan sedang, meliputi : Anak dengan disabilitas fisik; Anak dengan disabilitas mental, Anak dengan disabilitas fisik dan mental
  • Anak dengan disabilitas berat yang belum diakses Asistensi Sosial Orang dengan Kecacatan Berat.

Anak yang memerlukan perlindungan khusus lainnya (0 sampai dengan 18 tahun), meliputi :

  • Anak dalam situasi darurat dan berada dalam lingkungan yang buruk/ diskriminasi.
  • Anak korban perdagangan manusia.
  • Anak korban kekerasan, baik fisik dan/atau mental dan seksual.
  • Anak korban eksploitasi ekonomi atau seksual.
  • Anak  dari kelompok minoritas dan terisolasi serta dari komu­­ni­­tas adat terpencil.
  • Anak yang menjadi korban penyalahgunaaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA).
  • Anak yang terinfeksi HIV/AIDS.

Kategori sasaran dimaksud untuk memberikan kesempatan akses yang lebih luas bagi anak yang mengalami masalah sosial dan menghindari terjadinya tumpang tindih sasaran. Dalam prakteknya terdapat anak yang mengalami masalah ganda, misalnya anak jalanan yang menjadi korban penyalah­gunaan NAPZA. Untuk masalah seperti ini, pendam­ping bersama LKSA melakukan klasifikasi masalah anak didasar­kan pada beberapa hal :

  1. Bobot masalah yang dialami anak.
  2. Kedekatan akses anak terhadap layanan kesejahteraan sosial.
  3. Kedekatan akses anak terhadap LKSA yang mendampingi.

Dalam keadaan populasi anak yang membutuhkan lebih banyak daripada jumlah sasaran PKSA yang tersedia, diperlukan lang­kah sebagai berikut :

  1. Melakukan asesmen masalah secara mendalam
  2. Melakukan seleksi berdasarkan bobot masalah yang di­prio­ritas­­kan. Semakin berat masalahnya, semakin miskin kondisinya dan semakin membutuhkan pertolong­an/bantuan  segera, semakin diprioritaskan menjadi sasar­an utama.
  3. Melakukan musyawarah antara orang tua/keluarga, lembaga dan komu­ni­tas setempat, termasuk meminta pertimbangan dari tokoh masyarakat, RT/ RW dan aparat setempat.

Tinggalkan komentar