ESKA (Eksploitasi Seks Komersial Anak)

Anak merupakan pribadi yang memiliki segala keunikan tersendiri sehingga membedakan dirinya dengan orang dewasa, tetapi dalam rentang kehidupan yang harus dilaluinya penuh dengan hambatan dan permasalahan. Oleh sebab itu, proses perkembangan dalam setiap periode akan melalui masa-masa yang rentan dengan jangka waktu yang cukup panjang. Seringkali anak beresiko tinggi menjadi korban penelantaran, pengabaian, tindakan eksploitasi, tindak kekerasan baik secara fisik, mental maupun emosional. Tindakan-tindakan semacam inilah yang nantinya dapat mengganggu perkembangan dan pertumbuhan anak hingga dewasa dan sebagian besar tindakan tersebut datang dari orang-orang yang berada disekeliling anak khususnya orang dewasa.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang RI NO 23 tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak, menyebutkan bahwa :

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Selain tercantum dalam Undang-Undang RI No 23 tahun 2002, Konvensi Hak Anak dalam pasal 34, menyebutkan :

Para negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini Para Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral untuk mencegah :

  1. Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah.
  2. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktik-praktik seksual lain yang tidak sah.
  3. Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan perbuatan yang bersifat pornografis.

Kedua penjelasan tersebut sangat sempurna, tetapi kondisi yang ada menyatakan bahwa Indonesia menunjukkan kenyataan pahit, sebagian dari  anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral PBB menugaskan perwakilannya  di seluruh dunia untuk melakukan kajian mengenai kekerasan terhadap anak.  Hasil yang dilaporkan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang terlibat. Anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik, pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya (pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain), diskriminasi, perkawinan dini, dan pornografi. Kajian mengenai Wisata Seks di ASEAN yang dilaporkan oleh  Child Wise Tourism Australia pada tahun 2007, Indonesia dianggap sebagai negara tujuan wisata untuk seks yang melibatkan anak-anak.

Bentuk jaminan atas perlindungan terhadap anak sudah banyak, hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap penanggulangan permasalahan eksploitasi seks komersial anak (ESKA). Selain itu pula tindakan ini juga membantu kegiatan preventif guna menekan jumlah anak yang terjebak dalam situasi seks komersial. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Ri No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, konvensi hak anak yang diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No.36 tahun 1990 tentang Hak-Hak Anak, Keputusan Presiden RI No 87 Tahun 2002 tetang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Bentuk Jaminan serta Program Perlindungan, Pencegahan dan Penghapusan terhadap ESKA lainnya adalah salah satu bentuk jaminan perlindungan terhadap anak khususnya anak yang terjebak dalam situasi eksploitasi seks komersial.

Pada kenyataan yang terjadi sekarang adalah jumlah anak yang menjadi ESKA semakin banyak dan jumlah penyebaran pun diperkirakan hanya bisa dihitung dipermukaan. Di Indonesia pada tahun 2010 tercatat 40.000 – 70.000 anak telah menjadi korban Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa bekerja dalam perdagangan seks. Praktik-praktik  tersebut terutama berlangsung di pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Di Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat (ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010 sebanyak 9000 anak atau sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas Sosial, 2010). Mengacu kepada data Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada 150.000 anak Indonesia  dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual Data tersebut menunjukkan bahwa semakin maraknya tindak pidana seksual komersial anak.

Pernyataan diatas juga mendukung hasil penelitian yang dilakukan Rahmat Syarif Hidayat, Mahasiswa Pascasarjana (SP-1) STKS Bandung angkatan ke-4 yang mengungkapkan bahwa kota Bandung merupakan kota besar di Indonesia tidak hanya memiliki aktivitas di siang hari melainkan juga pada malam hari. Banyak tempat di Kota Bandung yang menjadi tempat berkumpul/ nongkrong/ mangkal beberapa anak ESKA. Beberapa tempat diantaranya ada di daerah Dago diantarnya Taman Flexi, Cafe Madtari, Circle K, Dago Plaza, Kimia Farma, dan hampir sepanjang jalan kawasan Ir, H Djuanda (Dago). Beberapa tempat lainnya tersebar di tengah kota seperti Braga, Suniaraja, Alun-Alun, Dalem Kaum, Banceuy, Gardu Jati, Stasiun, Terminal Stasiun, Jalan Riau, Jalan Sumatera, Kawasan Kebon Kelapa, Ciateul, Jalan Otista, Jalan Sudirman, Gang Ijan, Kawasan Tegalega dan kawasan Setiabudi-Lembang.

KAP Indonesia mengungkapkan bahwa hal yang paling mengejutkan adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA  dan terlibat transaksi seks.  Faktor penyebab bukan hanya faktor kemiskinan dan ekonomi saja, tetapi sekarang beralih kepada faktor kedekatan, kenyamanan, keamanan dan gaya hidup hedonisme. Hubungan kuat lain antara perilaku seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah alasan yang digunakan para pelajar siswi masuk ke dalam seks komersial, walaupun imbalan yang mereka dapat tidak begitu besar. Teman yang diajak atau dilibatkan ke dunia seksual juga masih mempunyai kedekatan hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah yang sama atau teman satu genk/ kelompok. Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke dunia ini, lalu diperkenalkan dengan tamu. Dapat diprediksi selanjutnya anak-anak mencari tamu sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung menghubungi tamu tersebut. Situasi-situasi di atas seringkali menjadi situasi yang membahayakan bagi anak untuk hadir dalam situasi seks eksploitasi seks komersial. Sehingga beberapa kasus ditemukan anak berada dalam situasi krisis yang mengharuskan anak keluar dari situasi tersebut. Majalah Tempo edisi Kamis 12 Juni 2009 dipublikasikan Widodo Judarwanto dalam websitenya http://saveindonesianchildren.wordpress.com memuat kasus yang dialami Mawar usia 16 tahun.

Mawar, akan genap 16 tahun pada bulan September nanti. Rela menjual diri untuk melayani nafsu om-om karena desakkan ekonomi. “Biaya pendidikan mahal, biaya hidup mahal, mau bekerja yang benar saya masih sekolah, sedangkan kebutuhan hidup tidak bisa menunggu. Mana pemerintah menaikkan harga BBM” demikian kilahnya. Dari data yang ada diperkirakan, 30 % pelacur atau pekerja seks komersial di Indonesia dijalani oleh anak-anak dibawah umur dan dibawah 18 tahun.

Selain itu pula anak yang terlibat dalam hubungan seksual secara aktif beresiko tinggi terhadap konsekuensi kesehatan, diskriminasi. Stigmatisasi dan tindak kekerasan serta eksploitasi lain. Permasalahan ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah guna bersikap dan melakukan tindakan secara nyata terhadap implementasi peraturan-peraturan yang telah ada. Tidak hanya pemerintah tetapi perlu diperhatikan secara serius oleh segenap elemen masyarakat dan organisasi lokal bekerjasama saling bahu membahu mengatasi permasalahan tersebut agar tidak berlarut-larut dan lebih besar lagi.

Merespon permasalahan tersebut, STKS sebagai lembaga pendidikan membuka Program Pendidikan Pascasarjana Spesialis 1 (SP-1) Pekerjaan Sosial Bidang Kajian Pekerjaan Sosial dengan Anak dan Keluarga dengan konsentrasi komunitas dan klinis. Selaras dengan komponen tersebut, pascasarjana spesialis 1 (SP-1) STKS Bandung mewajibkan setiap mahasiswanya mengikuti kegiatan praktikum. Kegiatan praktikum ini sebagai komponen penting, karena kegiatan praktikum ini diarahkan untuk membentuk dan mengembangkan kompetensi mahasiswa dalam spesialisasi pekerjaan sosial secara utuh baik dengan setting individu, kelompok/ keluarga, institusi dan praktik analisis kebijakan.

Kekhawatiran dan keprihatinan mengenai permasalahan ESKA yang telah dikemukakan di atas  menggugah praktikan untuk melakukan kegiatan praktikum dengan permasalahan eksploitasi seks komersial anak dikalangan remaja dengan memperhatikan kecenderungan pergaulan remaja yang mengarah kepada perilaku seks komersial dikalangan anak disekolah. Apalagi peralihan masa kanak-kanak menuju remaja adalah masa-masa yang sangat riskan terhadap perubahan. Hurlock (1980 : 206-207) juga mengungkapkan bahwa

“Masa remaja adalah periode penting, peralihan dan perubahan. Dimana masa remaja akan dimulai dari perubahan fisik yang cepat dengan disertai perubahan mental yang cepat pula. Perubahan tersebut mempengaruhi tingkah laku individu dan mengakibatkan penyesuaian nilai-nilai yang bergeser. Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya terjadi secara fisik saja, tetapi berakibat pada perubahan emosi, minat, peran, pola perilaku dan nilai-nilai”.

Setiap perubahan dan peralihan pada remaja seringkali menjadi faktor pemicu mereka terjebak dalam situasi yang sebenarnya tidak menguntungkan mereka sendiri seperti terjebak dalam situasi eksploitasi seks komersial anak (ESKA). Sehingga semua pengambilan keputusan seringkali terkesan terburu-buru tanpa difikirkan lebih dahulu, akibatnya mereka seringkali menyesal diakhirnya. Namun, masih sedikitnya informasi yang tersedia karena permasalahan ini sering menjadikan tabu bagi sebagian orang atau masyarakat, menjadi tantangan tersendiri bagi praktikan. Sehingga praktikan memutuskan untuk melaksanakan kegiatan praktikum ini dengan mengambil permasalahan ESKA. Praktikan berharap informasi yang didapat praktikan dalam kegiatan praktikum ini dapat dijadikan referensi dalam pelayanan dan penanganan eksploitasi seks komersial anak dari sudut pandang pekerjaan sosial.

Pekerjaan sosial adalah sebuah aktivitas profesional yang membantu proses pelayanan pemecahan masalah terhadap permasalahan baik individu, kelompok ataupun masarakat. Pekerja sosial membantu memahami kondisi dan kenyataan-kenyataan yang mereka hadapi serta memberikan pilihan-pilihan guna membantu menyelesaikan masalah. Kaitanya dengan masalah ESKA pekerja sosial juga menghubungkan aspek yang telah didapat dalam asesmen dengan sistem ekologis, guna  melihat hubungan atau keterkaitan masalah sehingga memberikan intervensi yang tepat terhadap penyelesaian masalah.

Tinggalkan komentar